Obrolan Pagi


Sebentang Harapan secerah Angan. Pagi itu, saya bertemu dengan Matroji, tetangga yang kini jauh setelah kami dipisahkan dengan jalan tol. Sebuah jalan alternative yang katanya sih, bisa mengatasi kemacetan. Makanya jalan tembus itu dibuat, meski berdampak pada interaksi sosial.
"Tumben...kamu ada disini," sapaku mengejutkan Matroji yang bersandar di pintu depan sebuah pikep.
Tanpa ditanya, ia mengaku kalau pikep yang dijadikan omprengan mengangkut ternak dan hasil bumi ke pasar kecamatan itu, dari uang ganti rugi sawah dan rumahnya yang tergusur akibat tol. dua petak sawahnya juga telah laku ke jalan tol.
Setelah dibagi rata dengan dua anaknya, sisa uang tol, ia belikan pikep. Maklum, sejak pembebasan jalan tol, Matrojidi kehilangan pekerjaan bercocok tanam. pria krempeng tapi berotot itu, kini alih profesi menjadi sopir panggilan. "Baru ngantar kayu bakar punya Matrawi," ucapnya tanpa ditanya.
Usaha sobatnya itu, tak seperti dulu. Sebelum pemerintah membagi-bagikan gratis gas elpiji tiga kiloan, satu pikep kayu bakar Matrawi, ludas tak sampai tiga hari. Sekarang, dalam jumlah yang sama, satu bulan masih ada sisa. "Hanya orang yang takut ke gas elpiji saja yang beli,' tambah Matroji.
Kepada saya, Matroji menawarkan pikepnya. Kendaraan yang dilarang mengangkut orang miliknya, akan dijual. Uangnya mau dibelikan sawah. Ia akan bertani lagi, dengan alasan tidak menabung. Penghasilannya habis ditengah jalan akibat pikepnya sering rusak dan nyrempet, bahkan pernah kejegur ke kali.
"Bertani itu tentram. kendalanya hanya hama. Dan dijauhi dari perempuan. Kalau main perempuan, tanaman bisa rusak," terang Matroji yang juga menyebut profesi petani sedikit melakukan dosa. tidak makan uang rakyat, paling banter mencuri air untuk mengairi sawahnya.
Selain itu, disisa umurnya ia akan banyak silaturhmi ke sanak-kadangnya. Teritama tetangga yang kini menyebar jauh, akibat terpisah jalan tol. Bahkan ada tetangganya yang tinggal di luar desanya, akibat rumahnya kena jalan tol. Mereka harus membeli tanah dan membangun rumah di tempat jauh.
Tetangga dekat yang kini tinggal bersama matroji, tersisia lima rumah, empat puluh tiga rumah, harus dibongkar dan belasan rumah yang lolos dari proyek tol, kini terpisah. Untuk beranjang sana ke sebelas kepala keluarga itu, Matroji harus memutar. "Persaudaraan yang kita bangun bertahun-tahun, terhalang.," ucap matroji, sebelum meninggalkan tempat.